Senin, 11 Juli 2011

Nonsuicidal Self-Injury

Nonsuicidal self-injury adalah tindakan melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan sengaja tanpa ada maksud untuk bunuh diri. Tindakan menyakiti diri sendiri ini meliputi menyayat bagian kulit tubuh dengan pisau atau silet, memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh tertentu, menarik rambut dengan keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu. Hal ini dilakukan tanpa adanya maksud untuk bunuh diri.

Tindakan menyakiti diri sendiri ini bertujuan untuk menurunkan tingkat distres yang sedang dialaminya, atau dalam bahasa lain untuk membebaskan diri dari perasaan yang tidak diinginkannya. Dalam jurnal yang berjudul Physiological arousal, Distress tolerance, and Social Problem-Solving Deficits Among Adolescent Self-Injuries, Nock mengemukakan bahwa individu yang mengalami nonsuicidal self-injury ini menyakiti dirinya dengan tujuan untuk mengurangi atau membebaskan diri dari perasaan negatif atau perasaan yang tidak diinginkan dan membuat tidak nyaman. Beberapa penelitian menunjukan remaja cenderung lebih banyak melakukan self-injury daripada individu yang sudah dewasa. Hal ini disebabkan karena remaja yang sedang memasuki masa pubertas, keadaan emosinya masih labil dan belum dapat berfikir secara logis. Sedangkan individu dewasa sudah lebih matang emosinya dan sudah dapat berfikir lebih logis.

Masa remaja adalah masa perubahan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Dalam menjalani masa transisi ini pasti akan ada banyak konflik yang terjadi, konflik internal maupun eksternal. Konflik internal misalnya perasaan malu dan penyesalan yang mendalam atau perasaan putus asa. Sedangkan konflik eksternal misalnya pertengkaran hebat dengan orang yang dicintai, tidak diterima di lingkungan sosialnya, atau bahkan mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman-temannya. Konflik-konflik ini menyebabkan remaja tertekan secara emosi dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada dirinya. Tidak semua remaja dapat mengolah distres ini, ada sebagian remaja yang mengalami konflik tapi tidak mampu memecahkan konfliknya ini. Selain itu bisa juga disebabkan oleh daya tahan terhadap distresnya lemah, sehingga dirinya melampiaskan emosi negatifnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Dengan menyakiti dirinya sendiri, remaja tersebut merasa lebih tenang dan dapat mengurangi ketegangan yang ia rasakan. Tapi perasaan tenang itu hanya bersifat sementara, karena pada dasarnya tindakan ini tidak menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya terjadi.

Hilt dan Cha dalam jurnalnya yang berjudul Nonsicidal Self-Injury in Young Adolescent Girls: Moderators of the Distress-Function Relationship ingin mengungkap apakah distres internal dan distres interpersonal memiliki asosiasi atau hubungan dengan remaja yang terlibat dalam nonsuicidal sel-injury. Dalam penelitian ini Hilt dan Cha fokus pada remaja perempuan. Mereka mengumpulkan 94 remaja perempuan di daerah timur laut amerika serikat sebagai subjek. Subjek diberikan beberapa kuisioner untuk diisi. Kuisoner tersebut antara lain untuk mengungkap perilaku self-injury, internal distress, rumination, dan peer victimization. Hasilnya, 56,4% subjek melakukan self-injury paling sedikit satu kali dalam hidupnya, dan 36,2% melakukannya dengan sering pada satu tahun belakangan. Dan 94% dari remaja perempuan yang pernah melakukan self injury, mengatakan hanya merasa sedikit sakit atau sama sekali tidak merasa sakit saat melakukan self-injury.

Hasil dari penelitian Hilt dan Cha mengungkapkan bahwa remaja yang mengalami internal distres dan memiliki gejala-gejala depresi memiliki hubungan dengan keterlibatannya dalam perilaku self-injury. Rumination (respon spesifik terhadap gejala depresi) sebagai perantara antara distres internal dengan perilaku self-injury. Maksudnya, perasaan sedih, putus asa mendorong subjek untuk melakukan tindakan menyakiti dirinya dan itu dilakukan demi mengurangi atau membebaskan dirinya dari perasaan negatif tersebut. Distres interpersonal juga memiliki hubungan dengan perilaku self-injury subjek. Perlakuan negatif dan kualitas komunikasi yang rendah dalam hubungan interpersonal menjadi perantaranya. Contohnya remaja yang dijauhi oleh teman-temannya, teman-temannya memperolok dia karena bentuk tubuhnya, digosipkan tentang hal buruk oleh teman-temannya, dan perlakuan negatif lainnya.

Selain penelitian Hilt dan Cha, terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Nock dan Mendes dalam jurnalnya yang berjudul Physiological arousal, Distress tolerance, and Social Problem-Solving Deficits Among Adolescent Self-Injuries. Peneltian ini bermaksud untuk mengungkap reaktifitas fisiologis, daya tahan terhadap distres, dan kemampuan pemecahan masalah sosial pada remaja yang melakukan self-injury. Penelitian ini menggunakan metode komparisasi atau perbandingan, dimana membandingkan antara remaja yang terlibat dalam self-injury dengan remaja yang tidak terlibat self-injury. Subjek mengisi kuisoner tentang assessment perilaku nonsuicidal self-injury, lalu eksperimen tentang reaktifitas fisiologis, eksperimen menggunakan stimulus cards untuk mengukur daya tahan terhadap distres, dan pengukuran terhadap kemampuan pemecahan masalah sosial menggunakan skenario masalah yang diperdengarkan lalu subjek merespon dengan mengutarakan pemecahan masalahnya.

Penelitian yang dilakukan di Universitas Harvard ini mengungkapkan bahwa subjek yang terlibat dalam self-injury memiliki reaktifitas fisiologis yang kuat, daya tahan yang lemah dalam menghadapi distres, serta kemampuan pemecahan masalah yang rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak terlibat dalam self-injury. Penelitian-penelitian ini mendukung pernyataan di awal bahwa remaja yang melakukan tindakan menyakiti dirinya bertujuan untuk mengurangi atau membebaskan diri dari distres atau perasaan tidak nyaman. Remaja melakukan ini karena tidak mampu memecahkan masalahnya serta memiliki daya tahan terhadap distres yang lemah.
Keluarga menjadi salah satu faktor penting dalam fenomena perilaku self-injury pada remaja ini, terutama hubungan orang tua dengan anaknya. Kebanyakan orang tua tidak mengetahui perilaku anak remajanya yang suka menyakiti dirinya. Anak remaja cenderung tidak memiliki keberanian untuk berbicara pada orang tuanya. Padahal hubungan orang tua dengan anak remaja menjadi faktor penting yang mendukung perkembangan masa remaja.

Dalam jurnal yang berjudul Parent-Child Interactions, Peripheral Serotonin, and Self-Inflicted Injury in Adolescent, Crowell dkk ingin memngungkap interaksi orang tua dengan remaja yang terlibat dalam self-injury. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan diskusi antara orang tua dan anaknya. Dari penelitian ini diungkapkan bahwa orang tua remaja yang melakukan tindakan self-injury kurang memiliki kesadaran dan perhatian terhadap perilaku menyimpang anaknya ini. Crowell dkk juga menemukan bahwa keluarga yang memiliki anak remaja yang terlibat self-injury lebih cenderung menunjukkan afeksi negatif dan kedekatan hubungan yang rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Yates dkk dalam jurnalnya yang berjudul Nonsuicidal Self-Injury Among “Privileged” Youths: Longitudinal and Cross-Sectional Approach to Developmental Procces mengemukakan bahwa didikan orang tua yang kritis seperti suka menghukum anaknya akan meningkatkan tingkat keterlibatan remaja dalam tindakan self-injury. Tetapi bila remaja tersebut merasa marah, tidak percaya, dan asing terhadap orang tuanya, probabilitas keterlibatan dalam tindakan self-injury pada remaja menjadi menurun. Hal ini disebabkan remaja mengalami distres internal bila kedekatan dengan orang tuanya tinggi, tetapi orang tuanya sering mendidiknya dengan sangat keras.

Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindakan menyakiti dirinya atau nonsucidal self-injury memiliki tujuan untuk menurunkan atau membebaskan diri dari distres internal maupun distres interpersonal. Hal ini disebabkan individu tersebut memiliki daya tahan terhadap distres yang lemah dan tidak mampu menyesaikan permasalahannya. Keluarga, terutama hubungan antara orang tua dengan anak mempengaruhi probabilitas keterlibatan individu dalam tindakan self-injury.

Penanganan atau treatment yang sebaiknya dilakukan adalah dengan mencoba berbicara dan sharing tentang masalah yang dihadapinya agar afeksi negatif dapat tersalurkan dengan baik dan alternatif solusi dapat dimunculkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam hal ini, dukungan keluarga akan mempercepat proses penyembuhan. Selain itu, penanganan dapat dilakukan dengan terapi kognitif atau psikodinamik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar