Selasa, 26 Juli 2011

Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah cara individu mengolah emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 1999). Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, 2001).

Setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda untuk meregulasi emosinya. Lazarus & Folkman (1987) membedakan antara dua kategori dasar strategi emosi-regulasi: "emotion-focused" di mana usaha diarahkan terfokus untuk memperbaiki keadaan emosi negatif itu sendiri (misalnya, memutar perhatian dari perasaan negatif), dan "problem-focused" di mana usaha diarahkan untuk memperbaiki suatu keadaan yang tidak diinginkan (misalnya, menyelesaikan masalah yang menyebabkan munculnya emosi negatif). Pemilihan strategi regulasi emosi tiap individu berbeda, tergantung situasi keadaan emosinya dan juga tergantung dari kepribadian individu tersebut.

Sebagai individu, kita mengenal berbagai macam emosi, seperti bahagia, sedih, marah, kecewa, dan masih banyak emosi-emosi lainnya. Agar emosi-emosi itu tidak meluap secara berlebihan, kita perlu mengolahnya, pengolahan emosi ini yang kita sebut dengan regulasi emosi. Di dalam kehidupan kita sehari-hari, sadar atau tidak sadar, kita seringkali menemukan cara-cara yang dilakukan individu untuk meregulasi emosinya. Seperti misalnya dengan expressive writing, expressive writing adalah menulis secara ekpresif, berusaha menumpahkan segala emosi yang dirasakan ke dalam tulisan-tulisan. Dengan begitu, kita akan merasa lebih lega, karena emosi-emosi khususnya emosi negatif yang mengganggu, sudah terlampiaskan ke dalam tulisan-tulisan tadi. Selain dengan expressive writing, ada cara lainnya yang sering digunakan individu untuk meregulasi emosinya, yaitu emotional eating, sering kita temukan seseorang yang sedang kacau emosinya, diliputi oleh emosi-emosi negatif, berusaha menyalurkan emosi itu dengan makan. Terjadi peningkatan frekuensi serta porsi makan dan selalu berusaha mencari makanan yang dia sukai, hal ini yang disebut dengan emotional eating. Expressive writing dan emotional eating termasuk dalam strategi “emotion-focused”, karena individu hanya terpaku dengan usaha untuk memperbaiki keadaan emosi negatif yang ia rasakan, tanpa berusaha secara langsung memperbaiki masalah yang terjadi.

Horn dkk dalam jurnalnya yang berjudul Promoting Adaptive Emotion Regulation and Coping in Adolescence: A School-based Programme ingin mengungkap apakah program expressive writing pada remaja terbukti efektif sebagai salah satu cara regulasi emosi. Selain itu mereka juga ingin mengungkap apakah subjek menulis topik tentang emosional yang signifikan. Subjek adalah remaja yang tersebar di beberapa sekolah menengah di Jerman. Beberapa kelas di beberapa sekolah secara random dimasukkan ke kelompok intervention dan kelompok kontrol.

Hasil dari penilitian Horn dkk ini menunjukkan bahwa program expressive writing terbukti efektif dalam menurunkan afeksi negatif pada remaja, juga terbukti menurunkan frekuensi ketidakhadiran siswa di sekolah. Selain itu, penelitian ini juga mengungkap bahwa subjek banyak menuliskan tentang topik emosional seperti tentang hubungan romantis dengan pasangan, masalah broken heart, yang sering muncul pada masa remaja.

Selain expressive writing, ada cara regulasi emosi lain yang sering dilakukan oleh individu yaitu emotional eating. Hal ini coba diungkapkan oleh Evers dkk dalam jurnalnya yang berjudul Feeding Your Feelings: Emotion Regulation Strategies and Emotional Eating. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap apakah ada korelasi antara upaya meregulasi emosi dengan perilaku emotional eating ini. Subjek penelitian ini adalah mahasiswi universitas yang berjumlah 37 orang dengan rata-rata umur 22 tahun.

Hasil dari penilitian yang dilakukan oleh Evers dkk ini adalah bahwa ternyata ada korelasi yang signifikan antara upaya meregulasi emosi dengan perilaku emotional eating ini. Ketika subjek sedang dalam kondisi yang emosional, asupan makanan mereka meningkat dibandingkan dengan dalam kondisi netral. Selain itu peneliti juga menemukan bahwa subjek cenderung lebih memilih makanan yang membuat mereka nyaman ketika di dalam kondisi emosional ini. Mereka lebih memilih makanan-makanan yang disukainya. Di sisi lain, peneliti juga menemukan bahwa emotional eating ini termasuk strategi regulasi emosi yang maladaptif, dan kurang efektif dibandingkan reaksi emosi secara spontan yang cenderung lebih adaptif.

Setelah membahas tentang cara-cara meregulasi emosi, kali ini akan membahas regulasi emosi pada anak-anak. Seperti kita tahu, perkembangan kognitif di dalam masa anak-anak belum matang, stabilitas emosi mereka pun belum bisa terjaga. Sering kita melihat mereka menangis atau marah tanpa bisa dikontrol. Tetapi, pada dasarnya kemampuan regulasi emosi mereka sudah mulai berkembang diikuti oleh perkembangan kognitif mereka. Mereka sudah mulai belajar untuk meregulasi emosi mereka. Anak-anak menunjukkan wawasan mengenai bagaimana pengaruh emosi terhadap perilaku mereka sendiri dan perilaku orang lain. Emosi negatif seperti kesedihan atau kemarahan bisa diubah dengan sengaja menggunakan strategi emosi regulasi. Regulasi emosi adalah salah satu kecakapan inti dalam perkembangan anak usia dini.

Dennis dan Kelemen dalam jurnalnya yang berjudul Preschool Children’s Views on Emotion Regulation: Functional Associations and Implications for Social-emotional Adjustment ingin mengungkapkan strategi apa yang efektif yang digunakan anak pra-sekolah dalam meregulasi emosinya. Subjek penelitian ini terdiri dari 62 anak dengan umur 3 sampai 4 tahun. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dimana anak dibawa ke laboratorium beserta ibunya. Anak-anak disajikan dengan skenario menggunakan boneka di mana boneka menjadi marah, sedih, atau takut, tetapi harus menghentikan emosi negatif ini. Setelah setiap cerita anak-anak kemudian diminta untuk menilai tiga pasang strategi regulasi emosi yang berbeda. Setiap pasangan menunjukkan strategi regulasi emosi seperti emotion-focused atau problem-focused yang relatif efektif atau tidak efektif.

Penelitian yang dilakukan di New York City ini menemukan ada tiga macam strategi yang digunakan oleh anak pra-sekolah dalam proses meregulasi emosi mereka. Strategi itu adalah cognitive distraction, behavioral distraction, dan repairing. Cognitive distraction adalah pelepasan diri dari stressor. Seseorang dapat mengendalikan pikirannya untuk mengontrol emosi. Behavioral distraction adalah mengalihkan perhatian dengan mengerjakan pekerjaan lain. Lalu yang terakhir, repairing adalah memperbaiki perilaku dengan berperilaku yang pantas untuk membuat situasi negatif membaik.

Selain penelitian dari Dennis dan Kelemen, terdapat penelitian lain tentang regulasi emosi pada anak yang dilakukan oleh Solomon dkk yang berjudul Do the Associations between Exuberance and Emotion Regulation Depend on Effortful Control? Ingin mengungkapkan Apakah anak-anak dengan perbedaan tingkat kegembiraannya menunjukkan pola yang berbeda dalam regulasi emosi, dan apakah hal ini tergantung pada kapasitas efortful control mereka? Exuberant children adalah anak yang riang dan bersemangat, mereka yang menunjukkan peningkatan pendekatan perilaku di dalam situasi sosial yang baru, suka mencari perhatian, sesitivitas tinggi untuk memperoleh hadiah (Kagan, 1999).

Penelitian ini mengungkapkan bahwa efortful control terbukti efektif mendukung regulasi emosi yang efektif, dan dalam beberapa konteks, ini terutama berlaku untuk anak-anak yang menunjukkan exuberance rendah. Selain itu, anak-anak dengan exuberance tinggi, terlepas dari kapasitas kontrol mereka yang terbukti efektif, mungkin beresiko untuk memiliki masalah dengan regulasi emosi. Anak-anak yang menunjukkan efortful control yang lebih baik menunjukkan masalah yang lebih sedikit dengan disregulasi emosi. Namun, anak-anak dengan exuberance tinggi dan memiliki efortful control yang kuat tidak menunjukkan regulasi emosi yang lebih baik. Jadi, anak dengan exuberance rendah terbukti lebih efektif dalam meregulasi emosi dibandingkan anak dengan exuberance tinggi.

Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa expressive writing dan emotional eating terbukti dilakukan sebagai cara untuk meregulasi emosi. Selain itu dua penelitian di atas membuktikan bahwa strategi regulasi emosi sudah mulai berkembang pada masa anak-anak. Mereka sudah mulai paham dan mengerti bagaimana cara yang efektif untuk meregulasi emosi, karena regulasi emosi penting dilakukan oleh setiap individu.

Senin, 11 Juli 2011

Nonsuicidal Self-Injury

Nonsuicidal self-injury adalah tindakan melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan sengaja tanpa ada maksud untuk bunuh diri. Tindakan menyakiti diri sendiri ini meliputi menyayat bagian kulit tubuh dengan pisau atau silet, memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh tertentu, menarik rambut dengan keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu. Hal ini dilakukan tanpa adanya maksud untuk bunuh diri.

Tindakan menyakiti diri sendiri ini bertujuan untuk menurunkan tingkat distres yang sedang dialaminya, atau dalam bahasa lain untuk membebaskan diri dari perasaan yang tidak diinginkannya. Dalam jurnal yang berjudul Physiological arousal, Distress tolerance, and Social Problem-Solving Deficits Among Adolescent Self-Injuries, Nock mengemukakan bahwa individu yang mengalami nonsuicidal self-injury ini menyakiti dirinya dengan tujuan untuk mengurangi atau membebaskan diri dari perasaan negatif atau perasaan yang tidak diinginkan dan membuat tidak nyaman. Beberapa penelitian menunjukan remaja cenderung lebih banyak melakukan self-injury daripada individu yang sudah dewasa. Hal ini disebabkan karena remaja yang sedang memasuki masa pubertas, keadaan emosinya masih labil dan belum dapat berfikir secara logis. Sedangkan individu dewasa sudah lebih matang emosinya dan sudah dapat berfikir lebih logis.

Masa remaja adalah masa perubahan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Dalam menjalani masa transisi ini pasti akan ada banyak konflik yang terjadi, konflik internal maupun eksternal. Konflik internal misalnya perasaan malu dan penyesalan yang mendalam atau perasaan putus asa. Sedangkan konflik eksternal misalnya pertengkaran hebat dengan orang yang dicintai, tidak diterima di lingkungan sosialnya, atau bahkan mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman-temannya. Konflik-konflik ini menyebabkan remaja tertekan secara emosi dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada dirinya. Tidak semua remaja dapat mengolah distres ini, ada sebagian remaja yang mengalami konflik tapi tidak mampu memecahkan konfliknya ini. Selain itu bisa juga disebabkan oleh daya tahan terhadap distresnya lemah, sehingga dirinya melampiaskan emosi negatifnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Dengan menyakiti dirinya sendiri, remaja tersebut merasa lebih tenang dan dapat mengurangi ketegangan yang ia rasakan. Tapi perasaan tenang itu hanya bersifat sementara, karena pada dasarnya tindakan ini tidak menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya terjadi.

Hilt dan Cha dalam jurnalnya yang berjudul Nonsicidal Self-Injury in Young Adolescent Girls: Moderators of the Distress-Function Relationship ingin mengungkap apakah distres internal dan distres interpersonal memiliki asosiasi atau hubungan dengan remaja yang terlibat dalam nonsuicidal sel-injury. Dalam penelitian ini Hilt dan Cha fokus pada remaja perempuan. Mereka mengumpulkan 94 remaja perempuan di daerah timur laut amerika serikat sebagai subjek. Subjek diberikan beberapa kuisioner untuk diisi. Kuisoner tersebut antara lain untuk mengungkap perilaku self-injury, internal distress, rumination, dan peer victimization. Hasilnya, 56,4% subjek melakukan self-injury paling sedikit satu kali dalam hidupnya, dan 36,2% melakukannya dengan sering pada satu tahun belakangan. Dan 94% dari remaja perempuan yang pernah melakukan self injury, mengatakan hanya merasa sedikit sakit atau sama sekali tidak merasa sakit saat melakukan self-injury.

Hasil dari penelitian Hilt dan Cha mengungkapkan bahwa remaja yang mengalami internal distres dan memiliki gejala-gejala depresi memiliki hubungan dengan keterlibatannya dalam perilaku self-injury. Rumination (respon spesifik terhadap gejala depresi) sebagai perantara antara distres internal dengan perilaku self-injury. Maksudnya, perasaan sedih, putus asa mendorong subjek untuk melakukan tindakan menyakiti dirinya dan itu dilakukan demi mengurangi atau membebaskan dirinya dari perasaan negatif tersebut. Distres interpersonal juga memiliki hubungan dengan perilaku self-injury subjek. Perlakuan negatif dan kualitas komunikasi yang rendah dalam hubungan interpersonal menjadi perantaranya. Contohnya remaja yang dijauhi oleh teman-temannya, teman-temannya memperolok dia karena bentuk tubuhnya, digosipkan tentang hal buruk oleh teman-temannya, dan perlakuan negatif lainnya.

Selain penelitian Hilt dan Cha, terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Nock dan Mendes dalam jurnalnya yang berjudul Physiological arousal, Distress tolerance, and Social Problem-Solving Deficits Among Adolescent Self-Injuries. Peneltian ini bermaksud untuk mengungkap reaktifitas fisiologis, daya tahan terhadap distres, dan kemampuan pemecahan masalah sosial pada remaja yang melakukan self-injury. Penelitian ini menggunakan metode komparisasi atau perbandingan, dimana membandingkan antara remaja yang terlibat dalam self-injury dengan remaja yang tidak terlibat self-injury. Subjek mengisi kuisoner tentang assessment perilaku nonsuicidal self-injury, lalu eksperimen tentang reaktifitas fisiologis, eksperimen menggunakan stimulus cards untuk mengukur daya tahan terhadap distres, dan pengukuran terhadap kemampuan pemecahan masalah sosial menggunakan skenario masalah yang diperdengarkan lalu subjek merespon dengan mengutarakan pemecahan masalahnya.

Penelitian yang dilakukan di Universitas Harvard ini mengungkapkan bahwa subjek yang terlibat dalam self-injury memiliki reaktifitas fisiologis yang kuat, daya tahan yang lemah dalam menghadapi distres, serta kemampuan pemecahan masalah yang rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak terlibat dalam self-injury. Penelitian-penelitian ini mendukung pernyataan di awal bahwa remaja yang melakukan tindakan menyakiti dirinya bertujuan untuk mengurangi atau membebaskan diri dari distres atau perasaan tidak nyaman. Remaja melakukan ini karena tidak mampu memecahkan masalahnya serta memiliki daya tahan terhadap distres yang lemah.
Keluarga menjadi salah satu faktor penting dalam fenomena perilaku self-injury pada remaja ini, terutama hubungan orang tua dengan anaknya. Kebanyakan orang tua tidak mengetahui perilaku anak remajanya yang suka menyakiti dirinya. Anak remaja cenderung tidak memiliki keberanian untuk berbicara pada orang tuanya. Padahal hubungan orang tua dengan anak remaja menjadi faktor penting yang mendukung perkembangan masa remaja.

Dalam jurnal yang berjudul Parent-Child Interactions, Peripheral Serotonin, and Self-Inflicted Injury in Adolescent, Crowell dkk ingin memngungkap interaksi orang tua dengan remaja yang terlibat dalam self-injury. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan diskusi antara orang tua dan anaknya. Dari penelitian ini diungkapkan bahwa orang tua remaja yang melakukan tindakan self-injury kurang memiliki kesadaran dan perhatian terhadap perilaku menyimpang anaknya ini. Crowell dkk juga menemukan bahwa keluarga yang memiliki anak remaja yang terlibat self-injury lebih cenderung menunjukkan afeksi negatif dan kedekatan hubungan yang rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Yates dkk dalam jurnalnya yang berjudul Nonsuicidal Self-Injury Among “Privileged” Youths: Longitudinal and Cross-Sectional Approach to Developmental Procces mengemukakan bahwa didikan orang tua yang kritis seperti suka menghukum anaknya akan meningkatkan tingkat keterlibatan remaja dalam tindakan self-injury. Tetapi bila remaja tersebut merasa marah, tidak percaya, dan asing terhadap orang tuanya, probabilitas keterlibatan dalam tindakan self-injury pada remaja menjadi menurun. Hal ini disebabkan remaja mengalami distres internal bila kedekatan dengan orang tuanya tinggi, tetapi orang tuanya sering mendidiknya dengan sangat keras.

Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindakan menyakiti dirinya atau nonsucidal self-injury memiliki tujuan untuk menurunkan atau membebaskan diri dari distres internal maupun distres interpersonal. Hal ini disebabkan individu tersebut memiliki daya tahan terhadap distres yang lemah dan tidak mampu menyesaikan permasalahannya. Keluarga, terutama hubungan antara orang tua dengan anak mempengaruhi probabilitas keterlibatan individu dalam tindakan self-injury.

Penanganan atau treatment yang sebaiknya dilakukan adalah dengan mencoba berbicara dan sharing tentang masalah yang dihadapinya agar afeksi negatif dapat tersalurkan dengan baik dan alternatif solusi dapat dimunculkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam hal ini, dukungan keluarga akan mempercepat proses penyembuhan. Selain itu, penanganan dapat dilakukan dengan terapi kognitif atau psikodinamik.