Regulasi emosi adalah cara individu mengolah emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 1999). Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, 2001).
Setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda untuk meregulasi emosinya. Lazarus & Folkman (1987) membedakan antara dua kategori dasar strategi emosi-regulasi: "emotion-focused" di mana usaha diarahkan terfokus untuk memperbaiki keadaan emosi negatif itu sendiri (misalnya, memutar perhatian dari perasaan negatif), dan "problem-focused" di mana usaha diarahkan untuk memperbaiki suatu keadaan yang tidak diinginkan (misalnya, menyelesaikan masalah yang menyebabkan munculnya emosi negatif). Pemilihan strategi regulasi emosi tiap individu berbeda, tergantung situasi keadaan emosinya dan juga tergantung dari kepribadian individu tersebut.
Sebagai individu, kita mengenal berbagai macam emosi, seperti bahagia, sedih, marah, kecewa, dan masih banyak emosi-emosi lainnya. Agar emosi-emosi itu tidak meluap secara berlebihan, kita perlu mengolahnya, pengolahan emosi ini yang kita sebut dengan regulasi emosi. Di dalam kehidupan kita sehari-hari, sadar atau tidak sadar, kita seringkali menemukan cara-cara yang dilakukan individu untuk meregulasi emosinya. Seperti misalnya dengan expressive writing, expressive writing adalah menulis secara ekpresif, berusaha menumpahkan segala emosi yang dirasakan ke dalam tulisan-tulisan. Dengan begitu, kita akan merasa lebih lega, karena emosi-emosi khususnya emosi negatif yang mengganggu, sudah terlampiaskan ke dalam tulisan-tulisan tadi. Selain dengan expressive writing, ada cara lainnya yang sering digunakan individu untuk meregulasi emosinya, yaitu emotional eating, sering kita temukan seseorang yang sedang kacau emosinya, diliputi oleh emosi-emosi negatif, berusaha menyalurkan emosi itu dengan makan. Terjadi peningkatan frekuensi serta porsi makan dan selalu berusaha mencari makanan yang dia sukai, hal ini yang disebut dengan emotional eating. Expressive writing dan emotional eating termasuk dalam strategi “emotion-focused”, karena individu hanya terpaku dengan usaha untuk memperbaiki keadaan emosi negatif yang ia rasakan, tanpa berusaha secara langsung memperbaiki masalah yang terjadi.
Horn dkk dalam jurnalnya yang berjudul Promoting Adaptive Emotion Regulation and Coping in Adolescence: A School-based Programme ingin mengungkap apakah program expressive writing pada remaja terbukti efektif sebagai salah satu cara regulasi emosi. Selain itu mereka juga ingin mengungkap apakah subjek menulis topik tentang emosional yang signifikan. Subjek adalah remaja yang tersebar di beberapa sekolah menengah di Jerman. Beberapa kelas di beberapa sekolah secara random dimasukkan ke kelompok intervention dan kelompok kontrol.
Hasil dari penilitian Horn dkk ini menunjukkan bahwa program expressive writing terbukti efektif dalam menurunkan afeksi negatif pada remaja, juga terbukti menurunkan frekuensi ketidakhadiran siswa di sekolah. Selain itu, penelitian ini juga mengungkap bahwa subjek banyak menuliskan tentang topik emosional seperti tentang hubungan romantis dengan pasangan, masalah broken heart, yang sering muncul pada masa remaja.
Selain expressive writing, ada cara regulasi emosi lain yang sering dilakukan oleh individu yaitu emotional eating. Hal ini coba diungkapkan oleh Evers dkk dalam jurnalnya yang berjudul Feeding Your Feelings: Emotion Regulation Strategies and Emotional Eating. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap apakah ada korelasi antara upaya meregulasi emosi dengan perilaku emotional eating ini. Subjek penelitian ini adalah mahasiswi universitas yang berjumlah 37 orang dengan rata-rata umur 22 tahun.
Hasil dari penilitian yang dilakukan oleh Evers dkk ini adalah bahwa ternyata ada korelasi yang signifikan antara upaya meregulasi emosi dengan perilaku emotional eating ini. Ketika subjek sedang dalam kondisi yang emosional, asupan makanan mereka meningkat dibandingkan dengan dalam kondisi netral. Selain itu peneliti juga menemukan bahwa subjek cenderung lebih memilih makanan yang membuat mereka nyaman ketika di dalam kondisi emosional ini. Mereka lebih memilih makanan-makanan yang disukainya. Di sisi lain, peneliti juga menemukan bahwa emotional eating ini termasuk strategi regulasi emosi yang maladaptif, dan kurang efektif dibandingkan reaksi emosi secara spontan yang cenderung lebih adaptif.
Setelah membahas tentang cara-cara meregulasi emosi, kali ini akan membahas regulasi emosi pada anak-anak. Seperti kita tahu, perkembangan kognitif di dalam masa anak-anak belum matang, stabilitas emosi mereka pun belum bisa terjaga. Sering kita melihat mereka menangis atau marah tanpa bisa dikontrol. Tetapi, pada dasarnya kemampuan regulasi emosi mereka sudah mulai berkembang diikuti oleh perkembangan kognitif mereka. Mereka sudah mulai belajar untuk meregulasi emosi mereka. Anak-anak menunjukkan wawasan mengenai bagaimana pengaruh emosi terhadap perilaku mereka sendiri dan perilaku orang lain. Emosi negatif seperti kesedihan atau kemarahan bisa diubah dengan sengaja menggunakan strategi emosi regulasi. Regulasi emosi adalah salah satu kecakapan inti dalam perkembangan anak usia dini.
Dennis dan Kelemen dalam jurnalnya yang berjudul Preschool Children’s Views on Emotion Regulation: Functional Associations and Implications for Social-emotional Adjustment ingin mengungkapkan strategi apa yang efektif yang digunakan anak pra-sekolah dalam meregulasi emosinya. Subjek penelitian ini terdiri dari 62 anak dengan umur 3 sampai 4 tahun. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dimana anak dibawa ke laboratorium beserta ibunya. Anak-anak disajikan dengan skenario menggunakan boneka di mana boneka menjadi marah, sedih, atau takut, tetapi harus menghentikan emosi negatif ini. Setelah setiap cerita anak-anak kemudian diminta untuk menilai tiga pasang strategi regulasi emosi yang berbeda. Setiap pasangan menunjukkan strategi regulasi emosi seperti emotion-focused atau problem-focused yang relatif efektif atau tidak efektif.
Penelitian yang dilakukan di New York City ini menemukan ada tiga macam strategi yang digunakan oleh anak pra-sekolah dalam proses meregulasi emosi mereka. Strategi itu adalah cognitive distraction, behavioral distraction, dan repairing. Cognitive distraction adalah pelepasan diri dari stressor. Seseorang dapat mengendalikan pikirannya untuk mengontrol emosi. Behavioral distraction adalah mengalihkan perhatian dengan mengerjakan pekerjaan lain. Lalu yang terakhir, repairing adalah memperbaiki perilaku dengan berperilaku yang pantas untuk membuat situasi negatif membaik.
Selain penelitian dari Dennis dan Kelemen, terdapat penelitian lain tentang regulasi emosi pada anak yang dilakukan oleh Solomon dkk yang berjudul Do the Associations between Exuberance and Emotion Regulation Depend on Effortful Control? Ingin mengungkapkan Apakah anak-anak dengan perbedaan tingkat kegembiraannya menunjukkan pola yang berbeda dalam regulasi emosi, dan apakah hal ini tergantung pada kapasitas efortful control mereka? Exuberant children adalah anak yang riang dan bersemangat, mereka yang menunjukkan peningkatan pendekatan perilaku di dalam situasi sosial yang baru, suka mencari perhatian, sesitivitas tinggi untuk memperoleh hadiah (Kagan, 1999).
Penelitian ini mengungkapkan bahwa efortful control terbukti efektif mendukung regulasi emosi yang efektif, dan dalam beberapa konteks, ini terutama berlaku untuk anak-anak yang menunjukkan exuberance rendah. Selain itu, anak-anak dengan exuberance tinggi, terlepas dari kapasitas kontrol mereka yang terbukti efektif, mungkin beresiko untuk memiliki masalah dengan regulasi emosi. Anak-anak yang menunjukkan efortful control yang lebih baik menunjukkan masalah yang lebih sedikit dengan disregulasi emosi. Namun, anak-anak dengan exuberance tinggi dan memiliki efortful control yang kuat tidak menunjukkan regulasi emosi yang lebih baik. Jadi, anak dengan exuberance rendah terbukti lebih efektif dalam meregulasi emosi dibandingkan anak dengan exuberance tinggi.
Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa expressive writing dan emotional eating terbukti dilakukan sebagai cara untuk meregulasi emosi. Selain itu dua penelitian di atas membuktikan bahwa strategi regulasi emosi sudah mulai berkembang pada masa anak-anak. Mereka sudah mulai paham dan mengerti bagaimana cara yang efektif untuk meregulasi emosi, karena regulasi emosi penting dilakukan oleh setiap individu.